Rabu, 03 Juli 2013

The Day We Met Part IX

Ai’s POV
Keesokan Harinya
            Aku berangkat sekolah dengan semangat. Yi tidak bersamaku, karena dia berencana untuk mencemput Yui hari ini. Padahal dia sendiri selalu aku tungguin. Ah, sudahlah, hari ini murid baru ini akan datang~
            Saat sampai di sekolah, aku menemukan Yi dan Yui sudah ada di kelas. “Wah, tumben sekali kau datang duluan?” Aku menepuk punggung Yi. “Ya dong, aku kan rajin~” Yi membusungkan dadanya. “Rajin kalo ada maunya.” Aku mencibir yang dibalas oleh jitakan langsung dari tangan Yi. Tak lama kemudian bel masuk pun berbunyi dan kami bersiap-siap untuk menerima pelajaran.
            Tak lama kemudian, ada seseorang mengetuk pintu. Nodoka sensei yang mengajar sejarah sekaligus wali kelas kami pun mempersilahkan untuk masuk. “Selamat pagi, anak-anak.” Kepala sekolah pun datang membawa seorang anak cowok yang... Oh My God, dia sangat keren sekali! Tubuhnya yang tinggi dan tegap, rambutnya yang kaku, matanya yang tajam setajam silet, pipinya yang tirus dan dan bibirnya yang tipis sangat sempurna. “Namaku Choi Seung Hyun. Yoroshiku Onegaishimasu (Mohon Bantuannya).” Choi membungkukkan badannya. Oh my... Suaranya sangat berat membuatnya semakin sempurna. Tapi, kenapa aku merasa dia tidak asing lagi ya? “Yi, dia sangat keren ya?” Bisikku pada Yi.
            Choi pun akhirnya duduk di sebelah Kwon, tepat di depanku. Choi dan Kwon pun melakukan high five dengan Kwon. Setelah Kepala sekolah pergi, Nodoka Sensei pun melanjutkan pelajarannya. “Nah, baik-baiklah kalian pada Choi-san ya.”
            Aku pun menyolek pundak Choi. “Namaku Ai.” Aku mengulurkan tanganku setelah Choi menoleh padaku. Dia hanya melihatku dan tersenyum mengejek. “Aku tidak peduli.” Dia pun menoleh lagi ke depan. “Huh, dasar. Sifatnya dingin sedingin salju!” Aku berbisik pada Yi.
*
            “Huh, aku benci pada anak itu! Penampilannya saja yang keren, tapi sifatnya melebihi dinginnya salju!” Aku curhat pada Yi sepulang sekolah. “Tadi saja saat sensei menulis rumus di papan tulis, aku suruh dia merunduk, tetapi dia hanya menjulurkan lidah dan bilang tidak mau. Sadar nggak sih dia tingginya seperti tiang, aku jadi tidak kelihatan papan tulisnya!” Aku melanjutkan marahku, Yi hanya diam. “Padahal siapa yang tadi membisikkanku kalau dia keren.”
*
            “Tadaima~” Aku berjalan lesu. “Yo, Ai. Bagaimana anak barunya?” Dae-oppa yang sedang makan menyambutku. Aku membanting badanku di bantal kursi, tetapi aku salah perhitungan antara bantal duduk dan bagian belakangku, sehingga aku membanting tubuhku di lantai. “Itta!!” Aku berseru kesakitan. “Ai-chan, daijoubu?” Young-oppa yang sedang di dapur mendengar teriakanku. “Rupanya dia telah merusak tulang ekornya, hyung~” Dae-oppa tertawa terbahak-bahak.
            “Jadi, bagaimana anak barunya, Ai-chan?” Young-oppa duduk di hadapanku setelah menyiapkan nasi makan siangku. “Uh, dia sangat menyebalkan. Saat perkenalan, kulihat sepertinya dia pria yang sangat sopan dan keren, tetapi saat dia duduk, sifatnya berubah 180 derajat! Dia sangat dingin, dan sombong. Pokoknya aku membencinya!” Aku segera menghabiskan makananku. Memang, kalau aku sedang marah, aku suka terburu-buru dalam melakukan sesuatu, seperti makan. Tapi akibatnya, aku tersedak dan terbatuk-batuk. Young-oppa langsung cemas dan langsung mengambilkanku minum. “Tapi, bisa saja lo, kamu bilang benci ke dia, tapi lama-kelamaan pasti suka. Minji saja dulu benci aku, tapi sekarang?” Dae-oppa menunjukkan muka serius. Deg, kenapa tiba-tiba jantungku berdebar sangat kencang ya?
*
            “Dasar tiang! Merunduk sedikit dong! Aku tidak bisa melihat apa-apa nih!” Aku memukul pundak Choi. “Yang namanya tiang pasti kaku lah, mana bisa merunduk. Makanya, otak dibesarin juga, jangan pipi doang hahaha.” Choi kembali menunjukkan senyum mrngejeknya. “Uh, aku benci dirimu!” Aku pun maju ke depan untuk mencatat semua tulisan yang ada di papan tulis.
            Tapi jujur saja, ketika aku dipermainkan seperti itu, entah kenapa setelah itu aku tersenyum sendiri. Memang sih, hanya aku yang selalu dipermainkan, sementara dengan cewek lain dia selalu menggunakan bahasa resmi. Bahkan gara-gara dia selalu memakai bahasa resmi, dia mempunyai fans yang isinya hampir seluruh cewek di sekolah ini. Apa mungkin dengan menjahiliku, dia ingin dekat denganku? Ah, sudahlah, cowok memang susah ditebak. Lho, aku mulai senyum-senyum sendiri lagi.
            Saat istirahat tiba, aku tidak ke kantin. Aku mengcopy semua catatan sejarah dari buku Yi. Gara-gara Choi tidak mau merunduk, aku jadi ketinggalan seluruh pelajaran. “Yi, sepertinya kau harus belajar menulis lagi deh. Tulisanmu benar-benar parah!” Seruku. “Kamu itu, kalau pinjam terima sajalah. Kamu mau titip sesuatu? Aku dan teman-teman ingin ke kantin.” Yi segera merangku Yui, Yui tersipu. “Hmm... Terserah kamu sajalah. Yang penting minumnya yang dingin ya.” Aku menunjukkan senyum terlebarku. “Kamu ini, ini musim dingin, mana ada yang jual minuman dingin. Aku belikan kau coklat panas saja. Ayo, Kwon, Yui.” Yi mengajak Kwon dan Yui untuk ke kantin. “Kalau tulisannya semakin tidak bisa dibaca, kamu boleh meminjam punyaku kok. Punyaku ada di meja.” Kwon tersenyum kepadaku. Aku hanya tersenyum dan mengangguk.
            “Kasihan, kau tidak bisa mengisi perut besarmu itu.” Tiba-tiba aku dan Choi duduk berhadapan, dia menopangkan dagunya di mejaku. “Memang ini gara-gara siapa?” Aku mendengus, Choi hanya tersenyum. “Memang kamu tidak ke kantin dengan yang lain?” Tanyaku. Dia hanya menggeleng. “Aku sedang dalam diet khusus.” Katanya tertawa. “Kau sudah kurus, Choi. Sekali-kali makan banyak tidak apa-apa kan?” Aku mencibir. Dia tersenyum lagi sambil mencubit hidungku. “Aku bukan tipe orang yang suka membesarkan perut sepertimu, baka (bodoh).” Dia kembali tertawa. “Aduh, sakit tau! Udah gitu aku capek banget nih nulis segitu banyaknya.” Aku melepaskan pensilku untuk mengistirahatkan tanganku, tapi tiba-tiba Choi mengambil pensilku dan bukuku. “Kamu pergilah ke kantin, nanti kalau jarimu menciut seperti nenek-nenek aku juga yang disalahkan.” Dia melanjutkan catatanku. “Arigatou Choi tiang~” Aku bergegas pergi.
            Kalian tahu, kenapa aku bergegas pergi? Karena jantungku berdebar ketika Choi mengambil buku dan pensilku. Benar deh, cowok itu memang susah ditebak, kadang nakal, kadang baik..,
            “Hei, Ai.” Haru-chan menyapaku. “Kenapa kau senyum-senyum sendiri?” Tanya Haru-chan heran. “Ah... Nandemonai.” Aku gugup. “Oh iya, hari ini aku dan Natsuo-chan mau pergi ke pusat perbelanjaan, kebetulan mantel kami sama-sama rusak. Kamu dan Yui bisa ikut? Nanti kita beli milk shake sepulang dari sana.” Haru mengajakku.”Milk Shake, kebetulan aku ingin milk shake. Aku ikut! Nanti Yui aku kabari. Terima kasih telah mengajakku.” Aku, Haru, dan Natsuo tersenyum.
            Aku pun melihat Yui, Yi dan Kwon sedang berjalan sambil membawa pesananku. “Wah, padahal baru saja aku ingin menjemput kalian.” Aku segera mengambil pesananku dari tangan Yi. “Bagaimana catatanmu? Apa sudah selesai?” Tanya Kwon. “Ehm, tadi Choi yang melanjutkan, jadi aku bisa menjemput kalian. Eh, trus diajak mengobrol sama Haru-chan. Oiya, Yui. Pulang sekolah nanti mau ikut aku, Haru dan Natsuo pergi ke pusat perbelanjaan?” Aku menanyai Yui. “Hmm, selama Ai ikut, aku akan ikut.” Yui tersenyum manis.
            Aku pun kembali ke mejaku dan segera memakan makanan yang dibelikan oleh Yi. Dan aku pun melihat Choi yang sedang tertidur di mejanya. “Sudah selesai, Choi?” Tanyaku, dia hanya mengangguk. “Aku capek.” “Terima kasih, Choi tiang.” Aku segera memasukkan bukuku di tasku. Tapi... “Choi, kau tahu dimana pensilku?” Aku menyolek punggung Choi. “Maafkan aku, tadi pensil itu jatuh, terus aku tidak tahu keberadaannya. Jadi aku mengganti pensilmu dengan kepunyaanku.” Dia menunjuk kotak pensilku. Aku segera melihat isi kotak pensilku. “Choi Baka! Pensil biruku itu hadiah dari ibuku! Tapi kenapa kau menggantinya dengan warna hijau! Aku benci warna hijau! Aku benci Choi!” Marahku.
           
Bersambung ...

0 komentar:

Posting Komentar

By :
Free Blog Templates